Sunday, August 15, 2010

Dibawah tenda biru


Minggu pagi itu tidak seperti biasanya, sekitar pukul 9 sudah terdengar lagu-lagu perjuangan dipojok jalan RT 1 RW 18, tepat di minggu akhir sebelum puasa dimulai. Didepan sebuah rumah berdinding kuning sudah terpasang tenda biru sederhana, saya yakin tenda biru itu bukan tenda pernikahan seperti lagu Desy Ratnasari, penyanyi ayu jaman SD dulu. Tenda itu dihias sederhana, menutupi setengah jalan aspal didepan rumah itu. Soundsystem sumber asal lagu tersusun dibawah tenda, dilengkapi dengan beberapa meja yang berisi beberapa kardus bekas, entah apa isinya. Saya hanya mengintip malas dari kamar. Hiasan bendera dan pernak-pernik merah-putih kemudian semakin meyakinkan saya bahwa tenda tersebut diperuntukkan untuk menyambut tujuhbelas agustus, hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Tidak berapa lama setelah lagu-lagu perjuangan diputar mengisi ruang dirumah-rumah warga sekitar, Seorang pemuda dengan lantang menyapa seluruh warga. Ini mungkin MC nya, pikir saya dalam hati mendengar sembari tetap berkutat pada jemari saya yang sibuk menari-nari diatas keyboard notebook.  Lama-kelamaan saya mulai terganggu dengan suara-suara itu, “berbagai lombaaa, hayoo adek-adeek…”, suara MC tersebut semakin menggaung kemana-mana. 15 menit saya bertahan mencoba focus pada kegiatan saya. Teriakan anak-anak, Ibu-ibu, dan warga sekitar lama-kelamaan mencuri perhatian saya. Seheboh itukah. Akhirnya saya tergoda.
Beranjak dari kamar saya langsung menghampiri kerumunan warga sekitar didepan tenda biru yang sejak pagi mencuri perhatian saya. Ketika saya datang, lima orang bocah laki-laki sudah siap dengan kerupuk menggantung didepannya, aaah, lomba makan kerupuk ternyata. Saya semakin merapat, tertarik dengan pemandangan dibawah tenda tersebut, menerobos kepinggir tenda dan duduk mendekati bocah-bocah yang sudah siap melahap kerupuk dengan posisi tangan dibelakang pinggang masing-masing. Aah, saya jadi ingat masa kecil.
kerupuknya dimakan, nggak boleh pake tangan, nggak boleh dibantuin, yang habis duluan menang, oke adek-adek !! yang nggak ikut lomba jangan dibantuin ya, menjauh dari adek-adek ini..”MC mengulang peraturan untuk yang terakhir kalinya. Lima bocah laki-laki sudah berdiri dengan tangan dibelakang satu baris sejajar dengan kerupuk yang digantungkan dengan tali raffia didepan mereka dengan menyesuaikan tinggi masing-masing bocah tersebut. Sejenak penonton yang tidak mengikuti lomba menjauh sepanjang satu meter dari bocah-bocah peserta. Tapi itu tidak berlangsung lama. Saya dipojok sebaris dengan bocah-bocah peserta hanya diam menyimak. Melihat ketika lomba dimulai, tidak sedikit Ibu-ibu peserta yang mendekat, tidak hanya mencoba menyemangati anak-anaknya, tapi lebih dari itu, membantu si bocah memasukkan kerupuk yang bergoyang . semangat sekali ibu-ibu itu, harapan agar anaknya menang sungguh besar J
Ketika peserta hampir menghabiskan setengah dari kerupuknya, mata dan telinga saya terfokus pada satu anak yang paling dekat dengan saya. Bocah itu berbadan besar, memang tidak terlalu besar melebihi teman-teman peserta yang lain. Tapi ada hal lain yang hari itu saya lihat darinya. Saya kenal dengan bocah itu, amat kenal. Ketika dia mencoba menggigit kerupuknya yang tinggal setengah, banyak dari teman-temannya yang tidak ikut lomba menyemangatinya, meneriakkan namanya, bahkan dua orang dari mereka mencoba mendekat membantunya. Seorang dari temannya yang usianya lebih tua darinya diam-diam memasukkan kerupuk ke mulut bocah itu tanpa sepengetahuan panitia. Aah anak kecil, ada-ada aja pikir saya begitu. Saking inginnya temannya bocah itu menang, temannya rela diam-diam membantunya. Tapi kejadian selanjutnya diluar perkiraan saya. Tiba-tiba anak itu mengeluarkan kerupuk yang sudah dimasukkan temannya kemulutnya dan bilang dengan lantang “gak usaah!!biar aja sendiri masukinnya, jangan dibantu!”. Dan kejadian itu tidak berlangsung hanya sekali, seorang temannya yang lain mencoba membantunya lagi dan bocah itu melakukan hal yang sama. Padahal sudah ada  beberapa anak yang kerupuknya sudah jauh lebih sedikit ketimbang miliknya. Kali terakhir dia berkata demikian ketika Ibunya mungkin gemas dengannya dan mencoba membantunya, sama seperti ibu-ibu yang lain kepada anaknya. “mama biarin aja maa, biar sendiri aja..” tegasnya pada Ibunya. Bukannya kesal, Ibunya hanya tersenyum bangga melihat bocah kecilnya. Bocah itu berhasil menghabiskan kerupuknya. Tertawa kenyang setelahnya. Meskipun kemenangan sedang tak menghampirinya.Ditengah keramaian itu, ada sesuatu yang menyelinap dihati saya.
Batam 8 Agustus 2010

No comments: